MENGEMBALIKAN TULANG JEMARI YANG PATAH
MENGEMBALIKAN JEMARI YANG PATAH
“Aku tidak bisa menulis. Tulang jemariku
patah. Sibuk meninju kabar buruk”.
Perkataan
seseorang yang selalu terngiang di telingaku tiba-tiba tertanam subur di
otakku. Seseorang yang selama ini aku jumpai melalui media sosial, tanpa tahu
seperti apa aslinya. Parahnya, aku tidak tahu siapa dia dan dari mana asalnya.
Hanya bermodal cerita temanku “Hei, Kak unyey ini enak sekali bahasanya, dia
ternyata adiknya penulis kondang Indonesia loh”. Tanpa pikir panjang aku
mencari akun Instagramnya.
Setelah aku
telusuri…
Asik sekali.
Akun dengan sedikit kata tapi tak pernah gagal mengungkapkan makna. Mulai saat
itu aku mulai mengikuti setiap postingannya.
Dari sekian
tulisan yang beliau buat, tulisan itu yang menurutku paling berkesan. Karena
cukup mewakili apa yang sedang saya rasakan. Bagiku, tulang jemari yang patah
itu berarti menyembunyikan rasa sakit sendirian. Tidak ada keinginan pun
berbagi cerita. Karena adanya rasa malas mengabadikan keadaan karena pernah
diuji dengan tulisan. Malas dengan perkataan karena ia pun akan memberiku
ujian.
Bukan tidak
ingin lagi menulis, tapi aku hanya ingin benar-benar motivasi yang aku miliki
ini murni. Bukan lagi karena iming-iming menerbitkan buku, atau bahkan
mendapatkan gelar penulis. Tapi lebih kepada teman cerita saja. Jika suatu saat
aku sudah tidak bisa bercerita langsung kepada anak cucu, cukup tulisan ini
menjadi cerita untuknya.
Tapi ini
tidak mudah…
Berkali-kali
saya jatuh dan bangkit menulis karena seseorang. Bukan sekedar ditolak penerbit
Impian, tapi lebih kepada sesosok manusia yang tak lagi ada. Bukan dia sudah
berpidah alam, tapi kitalah yang sudah berubah keadaan.
Seringkali
kita dihadapkan pada keadaan dimana kita tergila-gila dengan seseorang. Bisa
jadi karena wajahnya, kecerdasanya, senyumnya, bahkan punggungnya saja kita bisa
suka. Rasa itu muncul begitu saja. Meskipun berkali-kali kita menolak, rasa itu
tidak bisa diterka. Begitulah Allah karuniakan rasa kepada hambanya.
Apakah ada
yang salah ?. Tentu tidak.
Beberapa
manusia lebih memilih berdo’a untuk lupa dengan kejadian yang tidak sesuai
ekspektasinya. Dengan membuang barang kenangan, atau sekedar pergi ke pantai dengan
dalil menenggelamkan perasaan kacaunya. Tapi saya yakin itu tidak seratus persen
berhasil. Karena bagaimanapun keadaan yang harus kita jalani, sudah menjadi
takdir-Nya.
Selamat
berbahagia dengan manusia yang paling membahagiakan bagimu. Aku pun sudah
menemukan itu….
Ada masa
kelam, suram. Tapi semoga tidak dengan saat ini dan nanti.
Komentar
Posting Komentar