Short Story of Love
Ibu : Taa, kamu sekarang sudah 20tahun. Apa Kamu ndak mau seperti mba-mba mu yang umur 21 tahun sudah menikah, bahkan sudah punya anak ?
*Gadis kecil itu terlihat santai, walau sebenarnya hatinya sangat bergejolak.
Ginta: Ginta takut mengenal laki-laki bu. Memandang saja Tak bisa lama-lama. Ginta takut jatuh cinta.
Ibu : Kenapa harus takut ? Tidak Ada yang salah dari sekedar rasa jatuh cinta. Kamu boleh cinta kepada siapa saja
Ginta: Tapi aku takut nanti melakukan hal-hal yang melanggar Syariat bu
Ibu : Itukan tergantung bagaimana kamu bisa membatasi atau tidak, ta
Ginta: Ginta takut nanti cinta Ginta kepada Allah terbagi dengan yang lain
Ibu: Apa Idolamu (Rasulullah) tidak pernah merasakan cinta ? Ibu rasa kamu sudah paham kisah cinta Rasulullah
Ginta : Sebenarnya Ginta takut jika nantinya yang Ginta cintai bukan jodoh Ginta
Ibu : Taa (mengelus kepala putrinya dengan halus). Kamu tidak perlu takut mengenal cinta. Kamu boleh berteman dengan laki-laki, asal kamu tidak melukai hatinya...
Semilir angin malam berdesir dengan lembut. Perbincangan mereka berdua berakhir ketika masuk seorang laki-laki didepan pintu
Ayah. Sejauh ini dia melangkah, laki-laki yang baru ia kagumi adalah ayahnya. Ayah yang selalu mengantarkan kamanapun dia mau pergi. Bahkan saat hujan, dan sang ayah baru saja selesai bekerja tetap mau menjemput dia yang sudah waktunya pulang sekolah. Betapa manjanya dia, karena sudah memasuki MA saja belum mau belajar motor. Katanya "Enakan sama ayah, kemana-mana dibonceng saja, jadi ndak cape"
Itu sebenarnya hanya alasan klise yang dibuatnya. Dia sebenarnya takut jika nanti bisa naik motor sendiri, dia bebas jalan-jalan kemana saja tanpa teman/ mahram.
Rupanya sekarang dia sudah menuju proses pendewasaan. Ginta
anak perempuan terakhir yang manja ini akan menginjakkan masanya di bangku
kuliah. Dia berencana melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi negeri
yang dekat dengan kota nya. Alhamdulillah, Allah memberinya jalan untuk menimba
ilmu di Purwokerto. Dia mendapat kabar bahwa ada kakak kelasnya yang sedang
melanjutkan studinya disana disambi mondok. Dia pun bertanya banyak soal dunia
pondok. Dan dia tertarik juga
Akhirnya dia sowan bersama ayah, ibu, dan ustadhnya
yang selama ini sudah mengajarinya ngaji. Kali ini Ginta diberi nasihat oleh
sang ustadh saat diantarkan ke pondok tersebut
“Kamu yang serius ngajinya. Apalagi katanya disini mau
ikut kamar tahfidz. Jangan sampai pacaran”
Dengan senyumnya, dia berkata “Nggih tad”. Dalam hatinya
berkata “Mana mungkin aku pacaran tad. Memandang laki-laki saja aku tak berani”
Dengan ikhlas, Ginta melepas kepergian sang ustadh dan
ayah ibunya di pondok ini. Tak ada air mata, karena mondok adalah salah satu
keinginan dirinya sendiri untuk memperbaiki diri.
Hari terus berganti, kehidupan Ginta yang jauh dari
orang tua membuat dirinya bebas. Bebas mengatur waktu kapan dia akan makan,
tidur, belajar dan ngobrol dengan teman. Dia senang sekali dipertemukan dengan
teman-teman yang baru dan memilik mimpi yang sama. Yaitu menjadi penghafal
al-qur’an. Ternyata bukan main, kamar
tahfidz yang ada di pondoknya hanya ada satu kamar. Jadi peminat
menghafal al-qur’an sedikit sekali di pondok ini. Dia pun bertanya-tanya. “Ko
bisa ? bukannya a-Qur’an itu yang poko harus dipelajari ? kenapa sedikit peminatnya
? kenapa ? ada apa dengan mereka ?”
Usut punya usut, akhirnya Ginta tahu. Alasan mereka
belum mau menghafal qur’an dengan serius adalah karena nantinya takut tidak
bisa menjaganya. “Karena setiap orang
yang sudah menghafal al-Qur’an, tidk boleh lupa sampai kapanpun”. Dari sini
kemudian sedikit roma keminderan muncul. Dia mendengar seseorang berkata “
Kalau kamu nanti sedang menghafal al-Qur’an, pasti Allah akan beri banyak
cobaan. Bisa jadi itu adalah sesuatu yang sangat tidak kamu duga”.
Hari demi hari berganti, Ginta menjalani ngaji dan
kuliah dengan biasa saja. Dia berusaha menyeimbangkan waktu belajar di pondok
dan kampus dengan baik. walau sekarang dia tidaklah menjadi orang terpintar di
kelasnya, tapi dia sedang tertarik dengan dunia menulis. Dia bergabung di
komunitas menulis ilmiah di kampusnya dan Alhamdulillah dia berhasil menembus
konferensi tingkat internasional berkat tulisannya. Dia semakin cinta dengan
dunia tulis menulis. Bahkan dia dekat dengan sang rektor, karena
keberhasilannya tersebut. Dia senang karena membuat orang tua bangga dan bahagia.
Disela kegiatan komunitas menulis, dia masih berjuang
dengan hafalan Qur’annya. Sang ustadzah selalu memantaunya. Ternyata Ginta
termasuk lambat dalam menghafal walaupun tajwidnya sudah lumayan banyak yang
benar. Ginta memulai menghafal al-Qur’an dari awal dibenarkan lagi makhorijul
hurufnya. Karena berbeda guru, berbeda pula pembelajarannya. Hampir dua tahun di
Purwokerto dia menikmati sekali perjalanan hidupnya. Dia tetap menjalankan
kewajiban nya mengaji dan juga kuliah dan menulis. Teka-teki pun mulai
terjawab. Cobaan-cobaan mulai muncul ditengah perjalannya meminang al-Qur’an.
Dia dipertemukan dengan seseorang yang sama-sama
menyukai dunia karya tulis. Dialah teman laki-laki pertamanya. Dia tidak berani
menyangkal, bahwa mereka tergabung dalam satu project yang sama. Mereka satu
tim dalam penelitian pendidikan. Project itu adalah hal yang sangat luar biasa
baginya. Dia diajak oleh seorang Professor ahli pendidikan di kampusnya. Akhirnya
sudah sepakatlah mereka tergabung dalam satu tim yang nantinya akan meneliti
soal pendidikan. Rencananya karya tersebut akan di presentasikan di Singapura tiga
bulan mendatang. Karena ini adalah project yang bukan main-main, jadi dia
terlalu serius dengan penelitian tersebut.
Tatkala iman mulai goyah, dan tiba-tiba cobaan datang.
Mendadak Ginta susah sekali menghafal al-Qur’an nya. Dia merasa ada yang aneh
saat tadarus al-Qur’an. Ada bayangan sebuah wajah yang terlintas di otaknya. Dia
lah wajah seorang laki-laki teman satu tim nya. Dimana dia berada, seringkali
muncul bayangan wajahnya. Ketika jalan sendirian, dia teringat wajah temannya
itu yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Sekarang dia jadi sering memperhatikan
apa saja yang ada di dalam dirinya. Dimulai saat dia diajak makan bersama sang
Professor, dia mendengar cerita banyak tentang kisah laki-laki tersebut. Dia adalah
seorang yang cerdas, perhatian, dan tampan. Ah, untuk pertama kalinya Ginta
bisa menilai ketampanan seseorang. Dia bernama Budi. Matanya yang teduh dan pembawaan yang penuh wibawa mulai menarik perhatiannya. Ternyata dia adalah seseorang
yang sudah lama kenal dengan pak professor. Dia sering meminta belajar mandiri
kepada beliau terutama soal karya tulis. Berbeda dengan Ginta yang kenal Pak
Professor beberapa bulan yang lalu saja. Perbincangan mereka bertiga menjadi hal
yang sangat dinantikan Ginta. Karena pak Prof sudah menganggap mereka seperti
anak sendiri. Mereka bahkan akan diajak keliling luar negeri jika ma uterus belajar.
Siapa orang yang akan menolak, jika diajak jalan-jalan gratis ke luar negeri. Apalagi
naik pesawat wuzzzz…
Hari terus berganti, saat ini Ginta sudah merasa dekat
dengan Budi. Begitu juga sebaliknya, mereka sering mengobrol lewat chat wa. Seolah seperti
tidak ada jarak. Pembahasan mereka sudah bukan hanya soal riset atau teori yang
akan digunakan, tapi kabar hati dan beberapa perkenalan diri. Budi sering
bertanya bagaimana kabar Ginta, dan sebaliknya. Handphone adalah pegangan wajib
saat dimana saja. Karena Ginta akan bertanya kabar proyek apa yang sedang di
kerjakan, atau sekedar memberi kabar kalau dia sedang makan. Ahhh, rupanya
Ginta sudah terlalu gila. Dia suka bercerita banyak soal pribadinya kepada
Budi, dan Budi akan memberikan solusi tentang masalah yang dihadapi Ginta. Ginta
senang sekali karena setiap permasalahan yang ditemukannya, akan terjawab
dengan baik oleh Budi. Dia jadi sering menanyakan hal-hal aneh yang dialaminya.
Seolah Budi adalah sosok pengganti ayahnya di sana. Ginta bertanya pada dirinya
“Mungkin inikah yang namanya jatuh cinta ?”.Ingin sekali dia bertanya pada
Bunda nya. Tapi dia malu memulainya darimana.
Efek dari seorang Budi sangat berarti bagi Ginta. Dia
merasa belajar dan mengajinya terganggu karena kehadiran sosok Budi. Dia selalu
ditegur sang ustadzah karena saat setoran hafalan sering banyak yang salah. Dia
menangis sejadi-jadinya saat ustadzah meminta mengulangi hafalannya dari awal. “Ya
rabb, apa salah hamba ? Benarkah sosok Budi yang mempengaruhi hafalannya ?
Inikah yang dimaksud sang Ustadh dulu, kalau ngajiny harus serius dan tidak
boleh pacaran karena cobaan yang besar akan datang bagi para penghafal al-Qur’an
?.............
Katanya
“Cinta adalah anugerah. Mustahil Allah menganugerahkan
yang baik”
Perasaan pada sosok Budi, apakah ini dinamakan cinta ?
Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar