Sekelumit Kisah Negeri Liken


Selesai sudah masa liburanku
Kamu tahu Negeri Liken ?
Disanalah tempat aku dilahirkan. Sebutan nama yang aku buat sendiri sejak kegemaranku bereksplorasi sains. Walau saat ini aku sedang mendalami ilmu lain selain sains, tapi aku masih ingat bagaimana aku bisa mencintainya.

Liken sering digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara. Hal ini dikarenakan liken sensitif terhadap pencemaran dan akan mati bila berada di kondisi yang kurang ideal. Liken mampu menyerap logam berat yang terkandung pada udara tercemar, seperti As, Cd, Cu, Ni, Pb, dan Zn (Szczepaniak dan Biziuk 2003).

Dulu aku suka sekali saat tahu, bahwa setiap tumbuhan yang hidup di sekitar rumahku memiliki nama-namanya sendiri. Beberapa kali saat praktikum Biologi, aku membawa banyak sekali tanaman. Walau diperintah bu guru hanya satu atau dua tanaman saja, tapi aku membawa banyak sekali  jenisnya. Aku sengaja membawa itu semua, karena keingintahuanku yang tinggi. Aku akan menanyakan nama jenis atau genus setiap tanaman yang aku bawa. Bu guru senang sekali, karena aku aktif. Dan nilai Biologi ku pun tidak pernah dibawah 90. Aku bahagia bersama sains. Seolah aku menjadi seorang professor yang pintar meneliti.
Aku yan terlalu senang dengan imajinasi dan terkadang terjun ke dunia ekstase yang ku ciptkakan sendiri. Seperti halnya Kimya sang putri Rumi (Novel kisah tahun 1423 yang baru saja aku tamatkan seminggu yang lalu). Aku merasa duniaku sungguh berbeda dari waktu  ke waktu.
Saat ini aku sudah tahu bagaimana menjadi seorang peneliti. Ya, walau bukan meneliti soal sains tapi setidaknya aku sudah melakukan riset yang sesungguhnya. Bahkan aku sudah kenal dengan seorang professor. Gelar yang aku impikan sejak kecil.

Tapi apa kabar raga saat ini, wahai pengejar mimpi ?

Rasanya agak aneh. Karena sikapku akhir-akhir ini berubah. Orang pun beberapa kali bingung saat berbicara denganku. Aku sekarang lebih suka dunia bercerita lewat tulisan. Ya. Sebagaimana Kimya kecil yang selalu dimarahi ibu dan kakaknya, karena suka menulis. Inilah aku sekarang. Beberapa kali ibuku memarahiku karena berbeda dengan anak yang lain. Katanya mimpiku terlalu tinggi. Hati-hati nanti gila. Yaaa, mungkin memang aku sedang menjadi orang gila.

Aku tak bisa menjadi  orang lain

Aku ingin mnejadi diri sendiri
Dengan menyendiri…

Kembali lagi di tempat ini
Tempat yang aku rindukan setiap hari. Karena disini, ruh imajinasiku akan terbang bebas. Menari diatas awan, bahkan menembus angkasa.
Selayaknya orang gila, aku seperti anak burung yang pergi jauh dari sarangnya.

Tertiba ditimpa badai…

Jatuh…

Terinjak manusia…

Menangis…

Dan menangis sejadi-jadinya

Tuhan,,, harus kemana aku melangkah

Negeri Liken sudah terlanjur aku tinggalkan

Di negeri orang mungkinkah aku bisa menemukan obat lukaku ?

Mengapa Tuhan kirimkan aku  ke dunia seperti ini ?

Kembali lagi aku ketikkan jadiru. Tak peduli seberapa sinar radiasi yang merusak mataku. Aku abaikan nasihat dokter lima hari yang lalu.

Pikiranku buntu…
Lidahku kelu…
Kembali menjadi manusia bisu…


Ahhhhhh …

Sejak kapan aku menjadi manusia pesimis seperti ini

Hanya karena badai menghantam, ketimpa pohon, diinjak orang kau sudah melemah !

Apa kau masih ingat nasihat temanmu ?
Saat kamu menangis, dia memelukmu dengan berbisik

“Allah esih sugih”

Seharusnya kamu ingat selalu nasihat itu, nak


Biar aku bernafas sebentar…

Apakah benar “Kebijaksanaan tidak agi menjadi kebijaksanaan, jikalau terlalu sulit menangis, dan terlalu mudah untuk tertawa ?”

Itu yang kau tulis lima tahun yang lalu, na

Lalu bagaimana bisa aku mencapai kebijaksanaan itu, jika Tuhan tidak mengijinkanku mennagis ?

Bukan
Bukan itu,

Lalu apa ?
Bagaimana ?
Apanya yang salah ?


Hatimu…


Kau terlalu merasa kuat


Markas , 7 Januari 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGEMBALIKAN TULANG JEMARI YANG PATAH

Diary Santri Covid-19