Ramadhan Story


Ya Allah, di akhir sisa hidupku ini
Ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku
-Semarang, 2017-
Sebuah do’a yang masih terekam dengan jelas. Potret pondok penghafal Qur’an di tengah hutan Semarang sana. Pertama kalinya hatiku meleleh, dengan do’a yang terpampang jelas di atap aula. Rumah panggung yang terlihat elok. Seolah aku melihat keelokan surga di dunia nyata. Melihat pesona gadis yang terjaga akhlaknya. Tersenyum melihat kamera yang aku bawa. Disanalah ada cerita alat digital begitu sangat dilarang. Aku diceritai pemilik pondoknya “Kalau santri ketahuan mainan hp, nanti kena ta’ziran berat”. Disini peraturan sagat ditegakkan. Sebuah pondok yang sederhana, berhasil mencuri perhatianku. Senyuman gadis kecil yang membius relung hatiku, seketika aku berkaca pada diri yang jauh dari kata suci. Kemana saja aku selama ini, kenapa tak penah berpikir untuk menjadi seorang penghafal al-Qur’an ?
Berbagai drama membuat hatiku berkecamuk. Aku melihat jadwal keseharian satri di sana. Selalu bangun jam 3, demi meminang ridho-Nya. Aku yakin pasti banyak sekali nikmat yang Allah berikan kepada mereka disini. Para peminang ridho yang tak kenal lelah. Menikmati ayat demi ayat al-Qur’an yang begitu menyejukkan. Lagi-lagi aku terkesima. Ketika aku menikmati udara di pinggir jendela. Aku melihat seorang gadis seumuranku. Begitu semangatnya berjalan, membawa helm dan entah hendak pergi kemana. Setalah aku tanya kepada pegasuhnya
“Mereka itu mahasiswa yang kuliah universitas dekat sini. Mereka memilih tinggal di pondok ini demi mempelajari al-Qur’an dan memperbaiki akhlaknya. Mereka perempuan tangguh yang kuat menahan badai. Banyaknya tamparan untuk tetap menjalankan kuliah seringkali diberatkan lagi dengan aturan pondok yang ketat”.
 “Apa boleh merekamembawa laptop ?”.
“Kita sudah punya prinsip, tidak ada alat digital apapu yang diijinkan masuk pondok ini. Bahkan jika ada wali santri yang menjenguk, tetap dilarang meminjamkan ke anaknya”. “Boleh tahu alasannya Ust ?”
“HP itu candu, mengganggu fokus. Al-Qur’an bukan untuk mainan jadi harus serius kalau ingin menjadi kekasih-Nya”
Aku akhiri wawancara dengan berjalan ke luar. Menikmati sepoi angin yang nikmatnya tak pernah aku rasakan sebelumnya
“Ya Allah, inikah panggilan-Mu. Untukku menjadi seperti mereka ?”

Ya Allah, tutupi aib guruku dariku
Jangan halangi aku untuk mendapat ridhonya
-Purwokerto, 2020-
Cerita ini sudah lama berlanjut. Benang panjang ini masih aku rajut. Membentuk kisah yang tak lagi sama. Sepertinya aku sedang jatuh cinta. Duh Gusti, nikmat sekali malam ini. Menikmati Ramadhan di tengah pandemi covid-19. Adakah kisah indah nantinya ?. aku yakin saja. Karena nikmat Allah ini terus saja datang bertubi-tubi. Setelah hampir dua tahun aku memutuskan untuk menjadi seorang santri. Tentu saja berbeda dengan di Semarang. Aku juga bukan lagi seorang utusan yayasan. Kini aku adalah diri sendiri. Penikmat sepi yang sedang iri. Aku cemburu pada mereka yang bisa dengan mudahnya merangkul kalam-Nya. Kenapa aku tak bisa secepat mereka ?
Seringkali hatiku berkecamuk. Tatkala otak terasa bebal. Mengeluh kadang jadi keseharian. Rupanya tak mudah menjadi seorang peminang al-Qur’an. Sedikit saja aku sibuk dengan yang lain, al-Qur’an akan cemburu. Terkadang aku mencoba merayu. Memaksa jatuh cinta padahal hatiku belum asli terbuka. Seolah aku menjadi seorang yang luar biasa karena menjadi kaum minoritas yang tidak tertindas. Banyak orang memujiku. Dengan derajatku, kesibukanku, dan statusku menjadi seorang santri di pondok yang katanya ketat ini. Ah, pujian ini ujian. Bagiku ini bukan soal ketat, tapi bagaimana kita taat. Tentang prinsip yang harus diikat kuat. Berusaha menjadi seorang yang berkomitmen itu salah satu usahaku. Sering aku merasa sangat lemah, hanya kepada Allah aku pasrah. Aku yakin Allah Maha Kuat, itulah mengapa aku seringkali mencoba bersandar hanya kepadanya.
Kemampuan tak bisa di elakkan. Aku yang terlalu sibuk dengan dunia, sedikit mengganggu kenikmatanku meminang jalan menuju rihdo-Mu. Seringkali aku lalai, karena kesibukan publikasi yang membuat banyak orang memuji. Jadwal terbang yang lebih sering dibanding teman yang lain. Aku rasa ini bukan soal usaha. Tapi hadiah dari Allah supaya aku bisa terus bersyukur. Aku ingat betul, bagaimana aku mengadu dengan manjanya di atas pesawat sana. Aku serahkan kemampuan ngreksoku selama ini kepada Allah. Dengan kenikmatan yang melangit luas, aku bisa menembus awan. Aku berhasil menggapai salah satu cita-citaku. Mengadu, dipangkuan-Mu.
Kali ini kisah terus berlanjut. Benang panjang ternyat amasih banyak yang belum aku rajut. Sempat aku terkejut, dengan datangnya cobaan-cobaan yang sedikit menyakitkan. Tapi tidak lama berganti menjadi kenikmatan yang tak terbandingkan. Beginilah Allah beri rezeki seorang santri. Jatuh cinta pada-Nya.

2 Ramadhan 1441

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Santri and Amateur Researcher

Diary Santri Covid-19

Semerbak Angin Perpisahan