Seni Mengambil Hikmah (1)
SENI
MENGAMBIL HIKMAH
Part
1
Ada
serangkaian kata yang membuat otakku sesak. Supaya hati tak berontak, biarkan
aku bercerita. Malam ini, bersamamu... sepi
Bismillahirrahmanirrahim...
Aku akan membuka kisah
masa lalu. Ketika drama perpisahan dimana aku harus pergi meninggalkan sebuah
lingkungan yang nyaman. Nyaman karena aku merasa menjadi orang yang bermanfaat,
mampu berkontribusi, menjadi peibadi yang pantang menyerah, ketika itu, aku selalu
si dekatkan dengan orang-orang yang luar biasa.
Disanalah aku menjadi
seorang guru. Entah guru atau guru-guruan. Yang jelas aku senang sekali bisa
terjun langsung didunia pendidikan. Cita-cita yang sedari kecil tercapai
seketika aku gapai dengan jalan yang selalu Allah permudah. Ya. Aku telah
menjadi guru pendidikan anak usia dini, guru privat, guru mengaji, juga yang
paling berkesan, aku menjadi guru pendamping ABK. Sebuah kebahagiaan yang harus
aku syukuri, karena aku telah dipertemukan dengan orang-orang hebat. Ada
sekeluarga ustadzah, yang mau menerima aku sebagai pengikutnya. Juga sekeluarga
yayasan yang mau menampung aku. Dari keluarga ustadzah yang sangat
menginspirasi, aku belajar banyak hal. Bagaimana menjadi seorang wanita karir,
mengurus rumah, suami, anak, dan orang tua. Bahkan menjadi sepala RT yang
diamanahkan kepada beliau. Alhasil, beliau menjadi seorang juara Inspiring Wonderful Moms di suatu event
yang diadakan di Yogjakata kala itu. Juga keluarga yayasan, yang mau
mengajariku bagaimana menjadi seorang yang profesional dan disiplin dalam
mengatur waktu. Di dua tempat tersebut aku bisa berlatih bagaimana membagi
waktu antara menjadi guru pedamping ABK dan mengaji di suatu TPQ. Aku bahagia,
diakui sebagai anak di keluarga yayasan tersebut. Juga menjadi seorang adik, ustadzah
yang meginspirasi. Meski sekarang jarak membentang, sebenarnya aku masih
mengingat degan jelas bagaimana perjalanan hidupku selama 1 tahun di tempat
tersebut.
Sekarang semua sudah
berubah. Lingkungan yang dulu telah mengubahku menjadi seorang aktivis di
berbagai kegiatan Islam, kini sudah aku tinggalkan. Bukan berarti aku sudah
jauh dari dunia pendidikan dan mengkaji keislaman. Tapi karena atas takdir
Allah, sekarang aku sudah berhasil menjadi seorang mahasiswa. Selain itu, aku
juga beruntung bisa menjadi seorang santri di pondok pesantren di Purwokerto.
Sebuah lingkungan yang sangat berbeda dari sebelumnya, disini aku lebih banyak
belajar bagaimana mengelola hati dan meluruskan niat. Aku tidak lagi menjadi
wanita yang pergi kesana-sini untuk menghadiri kajian keislaman. Karena disini,
aku sudah memiliki guru. Meski banyak sekali tamparan yang harus aku terima.
Jika mengingat posisiku sudah berhasil menjadi guru kala itu, mungkin beberapa
orang akan meledekku. “Sudah enak-enak jadi
guru ko malah milih mondok yang serba kekurangan”. Ya, benar saja. Ketika
di yayasan dulu, makanan adalah hal yang biasa. Tak pernah ada masalah, bahkan
melimpah ruah. Dari mulai pagi, menyambut anak-anak didik yang lucu-lucu di
gerbang sekolah. Memberinya senyum, mengobrol dengan orang tuanya, menanyakan
kabar, dan menegur beberapa anak yang kurang hati-hati saat bermain. Bel
berbunyi, belajar dan bermain dimulai. Sambil membuka do’a bersama anak-anak, biasanya
ibu-ibu dapur akan mengantarkan teh hangat untuk memberi semangat. Setelah
kegiatam pembukaan, dan mengaji pagi, waktunya istirahat. Segera kami pengajar
dan anak-anak akan mendapatkan jatah snack. Makan bersama, untuk membiasakan
do’a-do’a keseharian pada anak sejak dini. Kemudian kita akan melanjutkan
belajar di sentra sesuai jadwal yang sudah ada. Sampai waktu menjelang dhuhur,
beberapa anak yang half-day akan
bersiap-siap dijemput orang tua. Sednagkan yang full day akan mempersiapkan makan siang untuk bersama. Sambil
mengontrol anak-anak yang sedang makan, kami sebagai guru kelas dan pendamping
bekerjasama untuk menemui orang tua yang sudah menjemput anaknya. Semua
berjalan dengan baik, karena aku dipertemukan dengan ustadzah yang profesional
disana. Yang jelas bahagia, disana makanku terjamin, setiap hari pasti ada
jatah makan lengkap dengan sayur, buah, dan lauk yang bergizi. Terkadang
makanan jatah kelas ada kelebihan, dan kita akan membaginya dan membawa ke
rumah masing-masing. Sehingga di rumah bisa lebih hemat memasak.
Kembali kepada judul.
Kenapa aku membuat judul “Seni Mengambil
Hikmah”. Ini karena aku masih terngiang perkataan ustadzah ketika aku pamit
akan pergi ke Purwokerto
“Selamat
berjuang, dik. Aku percaya, kamu pasti bisa menggapai mimpi. Karena kamu pandai
mengambil hikmah”
Entah atas dasar apa
beliau mengatakan pandai mengambil hikmah. Aku menduga, ini sebab beliau sering
mengamati bagaimana caraku menyikapi
suatu permasalahan. Misalnya, saat aku pertama kali bertemu beliau. Aku
bercerita bagaimana kegegelan-kegagalanku mendaftar kuliah di Perguruan Tinggi
Negeri. Entah berapa jalur yang aku tembus, semuanya tertutup di tahun 2017.
Hingga di penghujung kisah, aku mengambil kesimpulan akan ada hikmah dibalik
semua ini.
Allah
sedang membuat rencana yang lebih baik
daripada rencana-recanaku menembus gerbang PTN yang bergengsi itu.
Dan benar saja. Ketika
aku selalu berusaha melangkahkan kaki, aku selalu dipetemukan dengan
orang-orang baik. Aku diberi kesempatan terjun dulu ke dunia pendidikan untuk
mendapat gambaran masalah pendidikan. Ini yang menjadi bekal kemudian aku
menjadi mahasiswa Pendidikan Agama Islam di PTKIN Purwokerto. Meski bukan PT
impian, setidaknya ini jawaban terbaik dari do’a-do’aku selama ini.
Ya
Allah, hamba pengin punya guru ngaji.
Aku berdo’a sebagaimana
tersebut, karena aku merasa lelah menjadi seorang Muslim Tanpa Masjid satu
tahun ini... (Insya Allah akan hadir sekuel yang membahas tentang ini nanti)
Kali ini. KUN-nya Allah
pun terjadi. Aku diijinkan menjadi seorang mahasiswa sekaligus santri. Meski
aku masih belum terlalu confident dengan status santri ku ini, tapi aku masih
terus mencoba menyadari ini. Pengasuh pondokku pernah mengatakan dalam ceramahnya, bahwa kata santri adalah
susunan dari huruf sin, nun, ta, ro, dan hamzah. Sin sebagai
singkatan dari satrul ‘auroh yang artinya menutup aurat baik secara
dhohir maupun bathin. Huruf Nun yaitu naibul ‘ulama (pengganti para ulama),
Ta’ yaitu tarkul ma’ashi (meninggalkan kemaksiatan), Ro’ yaitu roisul
ummah (pemimpin umat) dan hamzah kasroh (I) yaitu ikhlas fil’amal (keikhlasan dalam berbuat). KH Sahal
Mahfudz juga mengatakan bahwa santri terdiri dari dua kata dalam bahasa Inggris,
yaitu sun dan three yang memiliki makna manusia yang menjaga tiga
cahaya, yaitu iman, islam, dan ikhsan (Catatan
Hasi Santri Nasional 2019). Jika memahami makna santri, aku rasa belum pataslah
aku dipanggil santri.
Sudah mampukah aku
meninggalkan maksiat ?
Siapkah aku menjadi
pengganti ulama ?
Mampukah aku nanti
menjadi pemimpin umat ?
Bisakah aku terus
ikhlas dalam berbuat ?
.
Rasanya ingin menangis saja
.
Kenapa dari dulu aku
ndak mondok ?
.
Sulit sekali mencerna
dengan baik kenapa Allah megirimku ke tempat-tempat yang tak terduga.
Jika selepas MA Allah
mengirimku kepada lingkungan yang berwawasan Islam modern, saat ini aku memilih
untuk menempuh pendidikan pola tradisional. Jika dulu aku bisa makan enak dan
bergizi setiap hari, maka kini, bergizi bukanlah kewajiban. Tapi aku yakin, ada
lebih banyak kebarokahan di setiap lahapnya. Hanya saja, aku merasa lucu.
Ketika dulu aku terbiasa cerewet kepada anak-anak supaya melarangnya
jajan-jajan instan alias chiki-ckihian, malah sekarang disini makanan itu jadi
andalan. Jajanan tingan jadi andalan karena sayur pondok yang biasanya kurang
ada rasanya.
Ah, dasar manusia.
Benar saja kata Bu Guru Fiqih MA-ku dulu
“Kau akan diuji, dengan
perkataanmu”
Dan kini, aku membuktikan
perkataan tersebut.
Tak heran, jika grit-ku
semakin diasah di lingkungan baru ini.
Tapi aku yakin, akan ada hikmah mendalam yang bisa aku ambil di tempat ini..
Next, ada part 2 ya...
Komentar
Posting Komentar