CERITA KESYUKURAN, DI BAWAH POHON CENGKEH
(Kebaikan,
Covid-19, dan Ramadhan)
Kembali
aku menginjakkan kaki di Negeri Liken. Sebuah negeri yang aku namai sendiri
karena satu hal yang menarik perhatianku, yaitu adanya Liken atau Lichenese yang masih terjaga di daerah
ini. Inilah tempat dimana aku dilahirkan. Sebuah desa di atas dataran tinggi
yang masih asri. Adanya banyak Liken di beberapa pohon, menandakan bahwa di
sini udaranya masih terjaga dari polusi. Kali ini kisah kembali aku ukir. Tentang
nikmat Allah selalu hadir. Di tengah pandemi covid-19 yang membuat segala
aktivitas terbatas, namun rasa syukur ini masih tanpa batas.
Aku
baru saja pulang dari Purwokerto, tempat dimana aku menimba ilmu. Di sebuah
Perguruan Tinggi Islam dan pondok pesantren. Sudah dua tahun lamanya aku berada
disana. Merajut kisah menggapai mimpi dan berusaha meminang ridho illahi. Aku
bersyukur sekali didekatkan dengan orang-orang besar. Beberapa dosen, staff, kepala
perpus , sampai direktur yang bertitle Professor. Lantas, aku pun bertanya dalam
hati,
“Ya
Rabb, apakah aku ini diciptakan untuk menjadi orang besar ?”
Pertanyaan
itu terus menggelayuti hingga kini aku sedang kembali ke habitat asli. Hehe,
maksudnya di rumah sendiri. Dengan adanya pandemi covid-19, aku dipulangkan
lebih awal dari pondok. Setelah di karantina lokal 2 bulan lamanya, akhirnya
aku dan semua santri diijinkan pulang. Dipulangkannya bukan untuk berlibur,
tapi untuk melepas kerinduan pada keluarga saja. Ya, karena biasanya santri di pondokku
pulang 1 bulan sekali. Tapi kali ini lebih lama lagi karena ada pandemi. Semua
lembaga membuat kebijakan untuk menghadari virus ini. Begitu juga sistem
perkuliahan yang sudah berganti menjadi sistem daring. Semua kehidupan
solah-oleh berganti. Mahasiswa lebih banyak kuliah sambil rebahan karena lock
down jadi kebijakan. Di Purwokerto, semua perkuliahan berjalan saja seperti
biasa. Walaupun memasuki bulan Ramadhan ini aktivitas perkuliahan seringkali
bertabrakan dengan jadwal mengaji pasaran.
Oh iya, ngaji pasaran itu ngaji khusus bulan Ramadhan. Dalam sehari
mengkaji 6 kitab dari setelah shubuh 2 kitab, setelah dhuhur 1 kitab, setelah
‘Asar 1 kitab, dan setelah tarawih 2 kitab. Dan satu lagi yaitu ngaji Qur’an
yang tetap dilakukan ba’da ngaji khisoh 2, sekitar jam 8-9 an. Sungguh nikmat
nya tinggal di pesantren, bagai singgah di taman surga terkeren.
Sekarang
aku sudah di rumah dan berstatus baru sebagai ODP karena kepulanganku dari
Purwokerto. Jadi aku harus menjalani karantina mandiri di rumah. Awalnya aku
santai saja, toh aku sudah dibekali laptop oleh seorang dosen yang baik hatinya
untuk aku bisa terus berkarya. Ada beberapa tugas yang aku tunda untuk tidak di
kerjakan di pondok, supaya nantinya di kerjakan di rumah saja. Karena di rumah
tidak ada agenda mengaji bersama. Jadi, santuy aja.
Tapi
sesuatu yang tak terduga terjadi tiba-tiba. Ternyata di rumah akses internet
tidak lancar seperti biasanya. Padahal kalau dulu aku pulang, di rumah jaringan
aman-aman saja. Di tengah zaman perkuliahan serba daring, malah jaringan tidak
tersedia. Di rumah hanya bisa membuka pesan whatsApp saja. Itupun lama sekali loading-nya. Untuk mendownload jurnal
dan sebagainya tidak bisa. Kekhawatiran pun muncul. “Bagaimana nanti kalau aku
tertinggal kuliah ? Bagaimana dengan rencana menulisku ? Aaaaarghhh”...
Dan
ternyata, dugaanku benar. Hari Senin ada perkuliahan aplikasi statistika. Di
grup kelas dosen sudah membagi link youtube untuk pembelajaran. Aku pun
kelabakan, karena link video tidak bisa diputar masalah jaringan. Aku pun
melangkahkan kaki ke semua penjuru rumah. Di ruang tamu, kamar, dan dapur
semuanya tidak terdeteksi sinyal internet yang lancar. Aku pun melangkahkan
kaki keluar rumah, menuju tempat yang lebih tinggi. Akhirnya sampai di tempat
yang bagiku merasa nyaman sekali. Yaitu di bawah pohon cengkeh. Ternyata di
sana sinyal internet lumayan banyak jadi aku langsung bisa memutar video
perkuliahan. Beberapa notifikasi pun masuk untuk memberitahu jadwal submit
tugas dan deadline menulis. Indah sekali rasanya duduk di bawah pohon cengkeh,
sambil menikmati angin sepoi yang menerbangkan kerudung abuku. Isi video sudah
aku pahami dan aku lanjutkan dengan mendownload jurnal untuk tugas lainnya.
Membalas chat dari sahabat-sahabat di whatsApp dan saling bertanya kabar.
Beberapa
menit sudah aku lalui. Sambil menunggu waktu download selesai, aku melihat
sesosok yang sudah sepuh dari kejauhan. Beliau membawa sapu lidi dan beberapa
peralatan untuk membersihkan jalan dekat rumahnya. Ternyata beliau adalah
nenekku. Selembar daun jatuh di hadapanku, aku pun menengok ke atas, ternyata pohon
cengkeh sedang sedang berbuah. Mendadak aku teringat semua kisah masa kecilku.
Kalau sudah ada beberapa cengkeh yang berjatuhan, pasti aku akan mengambilnya.
Mengumpulkannya menjadi satu wadah, kemudian menjemurnya di bawah terik matahari.
Setiap sepulang sekolah aku akan mencari cengkeh itu. Nanti kalau sudah banyak
yang kering maka aku akan menjual ke seorang pengulak cengkeh. Senang sekali
rasanya bisa mendapatkan uang sendiri. Aku belajar kerja keras dari ibu bapak
dan juga nenekku. Sedari kecil, aku terbiasa mencari cengkeh, melinjo, memanen
singkong, ubi, talas, dan semua yang ada di pekarangan. Tangan kecilku sudah
terbiasa dengan pisau, celurit, gobed, dan sejenisnya. Bahkan sewaktu
Bagaimana
bisa seorang yang ndeso sekali seperti
aku bisa kuliah di perguruan tinggi ? Bagaimana bisa aku di dekatkan dengan
orang-orang besar ?. . .
Ternyata
setelah aku selidiki, ada orang-orang besar ada yang terlahir dari orang kecil
dan ndeso seperti ini juga. Menjurut
teori Grit-nya mba Angela Duckworth, kesuksesan seseorang ada pada grit
dirinya. Sudah tak heran, kenapa pak Professor sering meledekku anak ndeso ketika di kelas. Tapi beliau terus
memotivasi supaya aku terus belajar dan tidak boleh menyerah seperi halnya beliau
dulu. Katanya wong ndeso itu sudah punya modal, yaitu modal priatin
dan kerja keras. Ya, aku pegang erat nasehat yang arif itu. Aku jalani
saja semua jalan yang ada di depanku saat ini.
Dengan
penuh kesyukuran aku mendamaikan hati di negeri Liken ini. Ada banyak kisah
yang telah membuatku berkaca-kaca ketika mengingatnya. Ialah sebuah kata “Bersyukur bisa bermimpi” yang aku buat sendiri ketika berada di pesawat menuju
Samarinda. Salah satu bukti bahwa kasih sayang Allah begitu melagit luas.
Siapa saja yang padai mensyukuri
diri, maka akan Allah limpahkan nikmat yang bertubi-tubi.
Negeri
Liken, 15 Mei 2020
#Kebaikan
#Ramadhan #Covid19
“Tulisan
ini diikutsertakan dalam Blog Competition “Ceritaku Dari Rumah” yang
diselenggarakan oleh Ramadhan Virtual Festival dari Dompet Dhuafa Sulawesi
Selatan”
Komentar
Posting Komentar