Seni Mengambil Hikmah (2) Special Ramadhan
SENI
MENGAMBIL HIKMAH
Part
2
(Diary of Taitsirul Kholaq)
Kicauan
burung terus bersahutan. Berbahagia menyambut dhuha yang sebentar lagi tiba.
Tapi nyatanya bahagia bukan hanya miliknya. Ada hati yang terus menari, tatkala
mendengat nasihat sang murabbi ruhi...
-Karangsuci, 21April 2020-
Saat
ini aku sedang di taman surga. Taman kebahagiaan karena banyak sekali nikmat
Allah yang dilimpahkan. Sebuah perjalanan panjang telah aku lalui. Bermacam
tingkah pernah membuatku tak terarah. Dan kini aku terdampar di taman penuh
hidayah. Lika-liku pencarian seorang guru semakin menderu. Sepertinya disini,
aku telah menemukan candu. Sebuah perjalanan suci terus aku langkahi, demi
meminang ridho illahi.
Baiklah,
ini adalah kisahku menjadi seorang santri di suatu pondok di Purwokerto. Sudah
hampir dua tahun aku tinggal disini. Tidak ada sama sekali ketidakbahagaiaan kecuali
berujung kenikmatan. Seperti halnya Ramadhan kali ini. Di tengah pandemi
covid-19 aku masih terjebak bersama nikmat. Sesuatu yang aku inginkan atas
kepergianku ke Purwokerto adalah ketenangan. Lelah rasanya menjadi seorang
penggembala ilmu, muslim tanpa masjid, dan penuntut ilmu tanpa guru. Aku bersyukur
sekali bisa menjadi seorang santri. Lebih suka aku menjadi seorang yang rendah
diri, daripada jabatan tinggi dan reputasi disana-sini.
Dunia
itu, biarkan berlalu.
Betapa
kelamnya masa laluku, masa depanku masih suci
Masih
dengan jalan yang sama. Mencari ilmu. Adalah bukan perkara mudah. Karena tak
cukup hanya dengan modal fisik yang kuat. Mental dibutuhkan ekstra tatkala kita
berkeinginan terus menggapainya. Meski ilmu manusia tak seberapa dibanding ilmu
Allah, tapi menghilangkan kebodohan adalah kewajiban. Bagi aku mencari ilmu ya
selama hidup, bahkan sampai liang lahat nanti. Sudah beberapa cabang ilmu aku
temui. Sejak bangku TK yang hanya bermain dan mengenal kertas pensil, kini
sudah waktunya bergelut dengan teknologi dan informasi. Perjalanan panjang
terus terangkai dengan indah, jika di setiap jejaknya kita petik hikmah.
Apa
makna hikmah bagi anda ?
Setiap
orang boleh mendefinisikan masing-masing. Tapi menurutku, hikmah adalah puncak
kenikmatan ilmu yang sebenarnya. Ada begitu banyak ilmu-ilmu yang mempelajari
bagaimana cara menjadi orang sukses, berproses, atau mencapai puncak sesuatu.
Semuanya baik. Tapi berusaha mengambil hikmah dari suatu pelajaran tidak bisa
semua orang lakukan. Mengambil yang aku maksud bukan dalam hal menyadari saja.
Tapi ada tindak lanjut setelah memiliki kesadaan tersebut. Manakala kita
mempelajari ilmu, dan sudah paham teorinya langkah selanjutnya adalah bagaimana
ilmu itu diimplementasikan dalam kehidupan kita. Pelajaran itu bukan hanya
teks-teks yang tersusus rapih dalam buku tulis atau file-file. Tapi bagaimana
perilaku pelajar tersebut dalam menyikapi ilmu yang sudah di dapatnya.
Kemampuan mengambil hikmah sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, tapi
seberapa bermaknanya pelajaran itu bagi kehidupan manusia.
Oke,
langsung pada intinya ya
Kali
ini aku akan bercerita. Bagaimana di dunia baru ini, aku mempelajari ilmu yang
sangat baru bagiku. Ilmu agama adalah ilmu yang terbaik untuk dipelajari.
Begitu aku berkesimpulan sampai saat ini. Ada begitu banyak cabangnya sehingga
orang-orang berlomba-lomba mengejarnya karena ada pahala di setiap langkah
mempelajarinya. Di SMP aku belajar mata pelajaran agama Islan. Kemudian di
madrasah aliyah, aku mengenal ada ilmu fikih, akidah akhlak, SKI, dan al-Qur’an
Hadits. Sampai bangku universitas aku terheran-heran. Ada banyak sekali ilmu
cabang dari ilmu-ilmu tersebut. Dan yang belum aku tahu sebelumnya, adalah ilmu
alat (ahmu shorof) yang baru aku temui di pondokpesnatren. Keduanya adalah
pelajarn yang sangat asing bagiku. Tapi herannya, keduanya menjadi acuan dimana
kelas yang akan aku tempati di pondok ini. Belum sama sekali kenal dengan kedua
ilmu tersebut, jadi aku auto masuk kelas 1 Tsanawiyah. Sudahlah, bismillah
saja. Niat ingsung nggolet ngilmu kerana Allah Ta’ala. Itulah mantera
yang aku ucapkan setiap esok hari pergi ke sekolah. Sampai saat ini pun masih
melekat erat.
Ilmu
di pondok pesantren pun ternyata sangat luas. Seluas-luasnya, aku merasa tidak
mampu memahami semuanya. Seperti bukan diriku saja. Aku di pondok ko malah
kalau mengaji sering banyak mengantuk. Katanya ini wajar, tapi bagiku ini kurang
ajar. Karena kantuk ini terus saja menjadi kebiasaan sampai sekarang aku
mondok. Teman-teman pun semua paham. Setiap pelajaran nahwu shorof aku aling
ngantuk berat. Aku kira karena memang aku belum pernah mengenal sebelumnya.
Sedangkan banyak teman yang sudah pernah mempelajarinya, dan aku merasa
tertinggal. Anehnya, aku tidak berusaha lebih keras untuk memahaminya. Aku
belajar semampunya, hingga di akhir masa ujian akhir semester pondok, ternyata
nilai shorof ku dapat cumlaude. Alhamdulillah, keren ya, tapi inilah nyatannya.
Aku mendapat nilai 40.00. Padahal nilai tertinggi 100, heee sudah ketahuan kan.
Cumlaude yang aku maksud gimana...
Sudahlah,
aku tak mau membahas kisahku dengan shorof. Karena ada suatu pelajaran yang paling
menarik bagiku selama mondok. Itu adalah pelajaran akhlak. Kali ini aku sedang
berada di kelas 2 Tsanawiyah . Di bulan spesial ini, aku diberi kesempatan
untuk mengkaji bersama kitab Taitsirul Kholaq. Kali ini kita sedang mengaji
pasaran. Sebuah istilah yang digunakan ketika mengkaji kitab selama bulan
Ramadhan. Setiap harinya mengkaji 6 kitab. Pagi setelah shubuh, dua kitab,
setelah dhuhur 1 kitab, setelah ‘asar 1 kitab, dan setelah sholat tarawih 2
kitab. Sungguh nikmat yang harus terus di syukuri. Apalagi saat ini kondisi
sedang ada pandemi. Ngaji terasa lebih fokus, karena tidak terlalu di sibukkan
dengan kuliah yang butuh waktu untuk keluar pondok. Kali ini semua perkuliahan
menggunakan sistem daring, jadi enjoy saja di pondok kuliah bebas dengan gaya
apa saja. Next, kembali ke pelajaran akhlak.
Ramadhan
kali ini, taitsirul kholaq di kaji kembali. Di khisoh dua, dan diampu seorang
ustadh yang dulu juga pernah mengajar fiqih dan shorof. Ustadh yang katanya
ganteng dan perfect. Hehe... (Santuy
gaiss, laki-laki terganteng di dunia hanya bapak ko. Maksudnya bapakku, dan
bapak anak-anakku kelak, eakkk) jadi biasa saja ya. Awal pembukaan
pengajian entah mengapa aku merasa ada feel yang berbeda. Ada yang aneh dengan
hatiku. Mudah sekali aku sinkronkan antara hati, mata, dan pikiran. Aku lebih
menikmati kajian pagi, karena suasana syahdu yang menyelimuti. Anehnya, banyak
teman yang terbuai dengan suasana ini. Mereka menunduk, terlelap, dan berlayar
dalam perahu nikmat. Masing-masing memiliki gayanya sendiri mendengarkan penjelasan
sang ustadh. Ada yang memilih di belakang, biar nanti bisa rebahan. Ada yang di
depan, biar ndak ngantuk saat
penjelasan. Dan aku, memilih di antara keduanya. Aku sengaja memilih tempat di
belakang tiang, karena posisi yang strategis. Kalau ngantuk ndak keliatan sang
ustadh, pun kalau mau mendengarkan masih jelas karena posisi masih di bagian
depan. Pertemuan pertama bagiku sangat berkesan. Di awal perkenalan kitab Taitsurul
Kholaq, sang ustadh memperkenalkan sang penulisnya, yaitu Kyai Hasan Al-Mas’udi.
Lahir di Baghdad, Irak tahun 895 M. Beliau adalah seorang ahli pelayaran,
pengajar di Universitas al-Ahzar, Kairo , Mesir. Muallif juga ahli sejarah dan
geografi. Di tengah-tengah penjelasanya, snag ustadh juga menyebutkan referensi
kajian ilmiah terkait kitab tersebut. Ternyata sudah ada beberapa tulisan, tapi
belum banyak yang mengkaji kitab tersebut. And suddenly, ko aku jadi kepikiran
buat paper dengan tema ini yah ? Eh, skripsi pake ini kayaknya asik. Biar aku
ndak melulu studi kasus yang harus terjun langsung di lapangan. Jadi nanti aku
bisa explore di perpus saja nyekripsinya. Etdah, ma syaa Allah. Mikirnya udah
sampai kesana. Padahal aku masih semester 4. Metopen-pun masih zonk dan
nulisnya masih amatiran. Ahhh, pikiranku kalo sudah bahas kartul itu jadi penginnya naik pesawat terbang terus. Inget ingettt
hey, janji sama diri sendiri. Batesi naik pesawat terbang, maksimal 2 semseter
2 kali ya. Begitulah asiknya mengaji di pagi hari. Apalagi pembahasan
dijelaskan detail, jadi tidak banyak mengganjal. Aku suka gaya seperti ini.
Ilmu agama tidak saklek, dan mengaitkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Begitulah sekiranya
awal perkenalan kajian hikmah Ramadhan ini. Aku yakin pertemuan-pertemuan
kedepan akan ada banyak pembahasan yang membuatku terpukau. Begitu pun dengan
burung-burung atap masjid, mereka masih setia berkicau. . .
Komentar
Posting Komentar